HIPMI Bali: Pengusaha di Bali Terancam 'Mati Mesin' Jika POJK 11/2020 Tak Direvisi 

HIPMI Bali: Pengusaha di Bali Terancam 'Mati Mesin' Jika POJK 11/2020 Tak Direvisi 

Denpasar-Pandemi Covid-19 yang bekepanjangan, membuat pengusaha di Bali 'mati kutu'. Kondisi itu akibat terhentinya roda kepariwisataan dalam setahun terakhir.Tak sebatas resesi, sektor pelesiran Pulau Seribu Pura saat ini bisa dikatakan menyentuh titik nadir. 

Ketua Umum Badan Pengurus Daerah (BPD) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Bali, Agus Permana Widura alias APW mengaku, masih menunggu langkah nyata pemerintah. 

Menurutnya, stimulus yang digulirkan pemerintah belum menyentuh seluruh pelaku usaha di Tanah Air, khususnya Bali. Selain itu, regulasi yang terbit selama pandemi Covid-19 dinilai 'setengah hati'. 

Salah satu regulasi 'setengah hati' itu adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11 Tahun 2020. POJK tentang Stimulus Perekonomian Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019, justru dituding mematikan langkah pengusaha. 

"Menurut saya, POJK Nomor 11 Tahun 2020 sudah tidak relevan lagi untuk pariwisata dan Bali pada umumnya," ungkap Agus Permana Widura kepada Kabar Dewata di Denpasar, Rabu (24/3/2021). 

Regulasi itu disebut tidak relevan, karena POJK Nomor 11 Tahun 2020 kurang memperhatikan situasi masing-masing daerah.

Jika hanya mengacu pada proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional, APW memprediksi Bali akan semakin terpuruk."Bali masih belum bisa seperti itu. Karena memang indikatornya untuk pertumbuhan ekonomi membaik itu masih sebatas vaksin" sebutnya.

"Sedangkan untuk pembukaan bandara ataupun travel bubble masih belum bisa terealisasi," imbuhnya. 

Mantan Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) Bali itu mengakui, restrukturisasi hutang semacam jebakan atau perangkap bagi pengusaha. 

Karena berdasarkan POJK 11 Tahun 2020, pengusaha yang telah menerima fasilitas restrukturisasi, tidak berkesempatan mengajukan top up pinjaman.

Padahal Loan To Value (LTV) mengacu pada appraisal, asset yang diagunkan masih memiliki nilai dari hutang yang tersisa. 

"Hampir semua pengusaha melakukan restrukturisasi hutang. Ketika mereka melakukan restrukturisasi hutang, tentunya mereka tidak bisa lagi menambah kredit," tegasnya.

"Di restrukturisasi ini sendiri, beberapa bank umum itu sudah mulai merubah formula daripada strukturnya itu. Jadi yang misal dulunya hanya bayar bunga, sekarang sudah mulai ada peningkatan pembayaran bunga. Itu kalau didasarkan oleh pertumbuhan ekonomi nasional, mungkin sudah membaik, namun Bali masih belum," sambungnya. 

APW mengatakan, dengan diberikannya top up pinjaman, selain untuk mendukung pemeliharaan (maintenance), dapat digunakan sebagai modal diversifikasi usaha.

"Dimana saat ini diversifikasi sangat dibutuhkan Bali, mengingat sektor pariwisata terlalu besar porsinya," tutur APW. 

Namun yang kini terjadi, ketika pemberlakukan POJK Nomor 11 Tahun 2020 diperpanjang, kebanyakan bank umum di Bali malahan menganggap perekonomian dalam negeri sudah mulai membaik. 

"Ini yang perlu diteliti lagi oleh OJK. Jangan seolah-olah ketika Indonesia sudah membaik, Bali dianggap juga sudah membaik. Indikatornya untuk Bali membaik itu belum ada," ujarnya. 

Oleh karenanya, ia mendesak adanya revisi terhadap POJK Nomor 11 Tahun 2020. 

"Harus direvisi khusus untuk pariwisata. Karena banyak sekali pengusaha yang berkecimpung di pariwisata tidak bisa menambah kredit, karena sudah ada restrukturisasi. Ketika sudah melakukan restrukturisasi, dianggap mereka tidak ada kemampuan untuk membayar cicilan itu. Ini yang sangat memberatkan, baik itu untuk pariwisata dan UMKM tentunya," bebernya. 

Bila POJK Nomor 11 Tahun 2020 tak direvisi, APW khawatir terjadi penjualan asset secara masal di Bali. Itu artinya, pengusaha Pulau Dewata akan menjadi 'penonton' di 'rumah' sendiri. Hal ini tentu sangat merugikan pengusaha dan perekonomian Bali. 

"Saya khawatirnya, pertama kita betul-betul 'mati mesin', yang kedua saya khawatir pengusaha Bali akan menjadi penonton di negeri sendiri. Karena seolah-olah di Bali ini tidak ada perlakuan yang khusus," katanya. 

Meski demikian, APW tetap mengapresiasi langkah Gubernur Bali Wayan Koster serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno dalam penyiapan soft loan. 

"Ketika soft loan dan revisi POJK Nomor 11 Tahun 2020 bisa berjalan beriringan, maka ini dapat mengurangi beban negara dalam mendukung pengusaha," pungkasnya.

Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait