BI Optimistis Inflasi 2021 akan Kembali Dalam Sasaran

BI Optimistis Inflasi 2021 akan Kembali Dalam Sasaran

Bank Indonesia (BI) memperkirakan inflasi 2020 lebih rendah dari batas bawah target inflasi. Kendati demikian bank sentral optimistis inflasi pada 2021 kembali ke dalam sasarannya 3,0 persen ± 1 persen seiring dengan membaiknya akitivitas ekonomi, kebijakan fiskal maupun ekspor.

“Untuk 2021 belum ada revisi target inflasi. BI optimis inflasi kembali sesuai sasarannya,” ujar Asisten Direktur dari BI Indra Astrayuda dalam pelatihan wartawan ekonomi yang diselenggarkan KPw BI bali secara daring di Sanur, Kamis (15/10/2020). 

Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI ini mengatakan dipengaruhi turunnya inflasi inti sejalan permintaan domestik yang belum kuat

Terkait hal itu BI akan konsisten menjaga stabilitas harga dan memperkuat koordinasi kebijakan denganpPemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini guna mengendalikan inflasi tetap dalam kisaran targetnya.

Sebelumnya analis ekonomi Kantor Perwakilan Bank Indonessia (BI) Bali, M. Setyawan Santoso menyampaikan pada September 2020, Bali mengalami perkembangan harga bulanan negatif (deflasi) sebesar -0,11%. Kinerja ini dihasilkan dari kondisi kota Denpasar yang mengalami deflasi -0,16% dan kota Singaraja yang mengalami inflasi 0,27%.  Kenapa itu terjadi?.

Menurut Setyawan, jika Denpasar dianggap mewakili perkembangan harga di daerah Bali bagian selatan,  maka tampak bahwa secara umum terjadi perkembangan harga yang lebih rendah di bulan September dibanding bulan Agustus untuk wilayah Bali bagian selatan sekitar Badung, Denpasar, Gianyar, Tabanan dan Klungkung.

“Perkembangan harga yang lebih rendah terjadi karena jumlah permintaan lebih rendah dibandingkan pengadaan barang,” katanya.

Kondisi penurunan harga bulanan tersebut sudah terjadi selama tiga bulan berturut turut yaitu sejak Juli (-0,46%),  Agustus (-0,12%) dan September  (-0,16%). Penurunan ini bersumber dari kota Denpasar. 

“Hal ini menunjukkan terjadinya pelemahan permintaan masyarakat di wilayah Bali bagian selatan yang disebabkan oleh menurunnya pendapatan masyarakat. Di sisi lain kinerja pasokan barang khususnya makanan berada pada level yang normal sehingga terjadi deflasi,” jelasnya.

Namun hal itu tidak perlu dikhawatirkan mengingat data tersebut adalah inflasi bulanan (mtm). 

Sementara itu secara tahunan (yoy), perkembangan harga pada bulan September di Bali tetap menunjukkan angka positif di semua kota yaitu Denpasar 0,8%, Singaraja 1,9% sehingga Bali menunjukkan inflasi sebesar 0,95%

Perkembangan harga bulanan di Bali harus dijaga agar tidak terus menerus mengalami penurunan atau deflasi.

Untuk itu yang harus dilakukan bukanlah mengatur agar perkembangan harga kembali menjadi positif atau inflasi melainkan dengan cara mengatasi penyebabnya.

Caranya yaitu menjaga daya beli masyarakat melalui peningkatan pendapatan,” kata 

Oleh sebab itu, kata Deputi Direktur KPw BI Bali ini, upaya-upaya peningkatan pendapatan masyarakat baik dalam bentuk yang paling dasar sampai yang paling menantang harus dilakukan.

Upaya peningkatan pendapatan yang paling dasar contohnya pemberian bansos (bansos) seperti bantuan kartu pra-kerja bagi masyarakat yang kehilangan pekerjaan atau pembagian program keluarga harapan, pemberian kartu sembako dan lainnya.

Sementara itu, program peningkatan pendapatan yang paling menantang adalah bantuan bagi usaha UMKM yang terdampak Covid. Program ini beragam dimulai dengan pemberian restrukturisasi kredit, subsidi bunga dan bantuan jaminan kredit. 

“Masih ada satu skim yang belum banyak dimanfaatkan yaitu program KUR super mikro,” katanya.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira menyatakan pada 2020, kondisi agak berbeda karena yang terjadi adalah deflasi atau harga secara umum justru turun.

“Deflasi disebabkan terganggunya sisi permintaan dan penawaran sekaligus akibat adanya pandemi,” jelasnya.

Untuk itu makin cepat pandemi tertangani makin cepat ekonomi recovery dari resesi. Itu berarti tidak berlanjut ke depresi.

“Jika resesi berlangsung lama akan berbahaya. Bisa krisis politik dan ancaman konflik horizontal meningkat. Biaya pemulihan akan mahal sekali, apalagi kalau sampai chaos,” katanya.

Kendati demikian Bhima menjelaskan, ada perbedaan krisis saat ini dengan krisis tahun 1998. Krisis 1998 itu terjadi, karena inflasi sampai 70 persen dan memicu kelangkaan barang dari mulai pangan sampai susu bayi, sementara tahun 2008 inflasinya 11 persen, relatif tinggi memukul daya beli masyarakat.

Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait