APVA Minta Pemerintah Segera Sikapi Money Changer Ilegal 

APVA Minta Pemerintah Segera Sikapi Money Changer Ilegal 

Money changer rentan dimanfatkan untuk kegiatan ilegal, bahkan bisa terjebak dalam tindak kriminal, seperti praktik pencucian uang atau pidana keuangan lainnya. Karena itu, syarat terpenting pedagang valuta asing adalah larangan menggunakan rekening pribadi ataupun karyawannya.

Money changer ilegal menjadi permasalahan menahun yang hingga kini belum ditemukan solusinya. Padahal tidak sedikit wisatawan khususnya mancanegara menjadi korban permainan pedagang valuta asing tidak berizin tersebut. 

Ketua Asosiasi Pedagang Valuta Asing (APVA) Bali, Hj. Ayu Astuti Dhama mengaku telah melayangkan surat kepada Gubernur Bali, Wayan Koster. Surat tersebut untuk meminta pemerintah segera menyikapi keberadaan money changer ilegal yang kian mengkhawatirkan.  Alasannya banyak pedagang valuta asing 'bodong' yang meresahkan, dan menjadikan wisatawan asing sebagai sasaran penipuan.

Modus yang digunakan untuk mengelabui turis mancanegara adalah menjatuhkan sejumlah uang tukaran kedalam laci.

  "Kami mengharapkan kepada pemerintah, karena melihat dari persyaratan yang ditentukan oleh Bank Indonesia, dan itu sudah dikaji oleh Biro Hukum Kabupaten Badung, ternyata SKTU (surat keterangan tempat usaha) itu tidak ada kekuatan hukumnya. Jadi Satpol PP itu tidak bisa menindak," ungkapnya kepada wartawan disela-sela Diskusi publik bertema 'Money Changer Ilegal, Dampak dan Antisipasi Pencegahannya' di Denpasar, Kamis (4/4/2019). 

"Makanya antara lain, selain saya bersurat kepada gubernur, yaitu minta dibuatkan Peraturan Gubernur, dan juga kami menyampaikan kepada Bank Indonesia agar menggunakan kembali aturan perizinan yang lama agar pemerintah dan aparat itu bisa bergerak," imbuhnya. 

Astuti Dhama menyebut, keberadaan pedagang valuta asing ilegal memberikan dampak fundamental. Salah satunya terhadap eksistensi kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank (KUPVA BB).  Tantangan pedagang valas selain menghadapi pemain tanpa izin, adalah pola pembayaran wisatawan mancanegara yang kini mengarah pada non-tunai.

Bahkan dengan kondisi yang ada, money changer anggota APVA yang mencapai 124 berbentuk Perseroan Terbatas (PT), dengan 525 cabang se-Bali mengalami penurunan transaksi hingga 10%.  "Kami terus terang kalau untuk yang berizin dari tahun 2018 itu kami memang ada penurunan itu sebesar 10 persen. Itu pertama karena kebanyakan tamu asing sekarang sudah memakai uang elektroniknya untuk mengambil dia di ATM. Nah kedua itu yang banyak mereka berbelanja itu memakai aplikasi itu, jadi otomatis untuk menukarkan valuta asingnya berkurang," tukasnya. 

"Dan yang banyak itu permasalahan yang saya sayangkan itu sebenarnya ya, kalau semuanya pada mengerti dan dapat menindaklanjuti itu, sebenarnya pariwisata kita ini yang menurun dengan info-info yang ilegal begitu," tambah Ayu Astuti Dhama.  Kepala Divisi SP PUR, Layanan, dan Administrasi Bank Indonesia perwakilan Bali, Teguh Setiadi pada kesempatan yang sama mengaku, pihaknya hanya melakukan pengawasan terhadap KUPVA BB berizin. Sedangkan untuk yang ilegal dikatakan berada diluar ranah pengawasan dan wewenang Bank Indonesia.

  "Jadi kalau setiap tahun, kita selalu mengadakan pengawasan. Yang jelas kalau secara rutin kita mengawasi secara offside melalui laporan mereka. Namun secara onside, kita juga gilir. Karena jumlah KUPVA di Bali ini kan sampai saat ini ada 124 kantor pusat, 500 lebih kantor cabangnya," katanya.

  Khusus KUPVA BB ilegal, Teguh menyebut pihaknya selalu berupaya mengimbau pedagang valuta asing dan konsumen untuk menaati regulasi yang ada. Dari sisi pedagang valuta asing ilegal, Bank Indonesia disebut telah melakukan sosialisasi secara berkesinambungan agar yang bersangkutan memenuhi perizinan.  Sedangkan untuk masyarakat, pihaknya mengimbau agar tidak memanfaatkan jasa dari KUPVA BB ilegal. Langkah itu diharapkan mempersempit ruang gerak pedagang valuta asing tak berizin. 

"Namun ya tentu saja, karena Bali ini adalah wilayah yang didatangi oleh wisatawan mancanegara yang sangat banyak, sementara mungkin wisatawan mancanegaranya itu adalah orang yang baru pertama kali ke Indonesi, jadi mereka mungkin tidak mendapatkan informasi mana yang yang legal maupun ilegal. Disitulah sebenarnya permasalahan-permasalahan yang timbul," tutupnya. 

Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait