Tradisi Perang Tipat-Bantal Di Mengwi

Tradisi Perang Tipat-Bantal Di Mengwi

Perang Tipat-Bantal adalah sebuah tradisi tahunan yang digelar sejak tahun 1337 oleh masyarakat lokal di Desa Adat Kapal, Mengwi,  Kabupaten Badung, Bali. Perang yang tergolong unik itu setiap tahun sekali wajib dilakukan masyarakat Desa Kapal, sesuai perintah (bhisama) Ki Kebo Iwa sejak tahun 1263 atau tahun 1341 masehi yang merupakan ungkapan syukur warga kepada Tuhan, atas rezeki dan nikmat yang telah diberikan. Kepercayaan tersebut dilakukan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga kini masih tetap lestari. Ritual perang tipat-bantal tahun ini dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 09 Oktober 2012 pukul 15.00 Wita yang berlokasi di Pura Desa Kapal.<o :p></o>

Perang ketupat ini ditujukan kepada masyarakat Desa Kapal untuk melakukan “Tajen pengangon” untuk mohon keselamatan dan kesejahteraan umat manusia. Tradisi ini sering juga disebut Aci Rah Pengangon oleh masyarakat setempat.<o :p></o>

Ritual yang berlangsung di Pura Desa Kapal ini diawali dengan upacara sembahyang bersama oleh seluruh warga desa. Pada upacara tersebut, pemangku adat akan memercikan air suci untuk memohon keselamatan para warga peserta Perang Tipat-Bantal (perang ketupat) ini. Tidak lama kemudian beberapa pria melepas baju dan bertelanjang dada. Mereka terbagi dua kelompok dan berdiri saling berhadapan. Di depan mereka telah tersedia tipat (ketupat) dan bantal (penganan dari tepung ketan dan kelapa).<o :p></o>

Setelah aba-aba dimulai, para pria yang bertelanjang dada itu mulai melemparkan tipat dan bantal itu ke kelompok yang ada di depan mereka. Suasana pun gempar ketika tipat dan bantal itu mulai beterbangan di udara. Lalu aksi lempar ketupat dan bantal itu dihentikan sementara. Warga mulai beranjak keluar pura. Kini mereka bersiap di jalan raya yang berada di depan pura lalu tetap berdiri berkelompok, dan saling berhadapan sekitar 15 meter. Suasana kembali riuh ketika ritual itu dimulai lagi. Warga melempar tipat dan bantal itu membabi buta sambil berteriak-teriak dan tertawa.<o :p></o>

“Perang” ini menjadi lebih seru ketika para penonton yang berdiri di trotoar ikut mengambil dan melempar tipat itu. Terkadang tak jarang ada ketupat “nyasar” ke arah penonton atau fotografer yang tengah mengabadikan momen ini. Beberapa dari warga yang menonton berteriak dan mencoba berlindung. Maklum, jika terkena lemparan tipat dan bantal ini, badan terasa sakit seperti ditampar benda keras. Walau begitu, tidak ada seorang pun yang marah dan ketika perang berakhir, semua orang berjabat tangan dengan penuh suka cita.<o :p></o>

Bendesa adat, Kapal Anak Agung Gede Dharmayasa, mengatakan, makna dari ritual ini adalah tipat dan bantal itu harus dilemparkan ke atas dari dua sisi kelompok dan diharapkan bertemu. Tipat merupakan lambang feminim dan bantal merupakan lambang maskulin. Pertemuan antara tipat dan bantal itu merupakan pertemuan maskulin dan feminim. “Laki-laki dan perempuan ketika bertemu akan melahirkan kehidupan,” kata Dharmayasa.<o :p></o>

Sumber : pandejuliana.wordpress.com

Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait