Tradisi “Perang Api” Di Jasri dan Saren, Karangasem

Tradisi “Perang Api” Di Jasri dan Saren, Karangasem

Ada sejumlah tradisi budaya khas di Kabupaten Karangasem, Bali yang unik dan menarik bercirikan “perang” bernafaskan”heroisme”, hingga kini masih hidup dilakoni masyarakatnya. Tradisi “Perang” apa saja itu? diantaranya “Perang Rotan” atau yang oleh masyarakat setempat disebut Gebug Ende, terdapat di Desa Seraya (Kec. Karangasem), “Perang Api” (Terteran) di Desa Jasri (Kec. Karangasem), “Perang Jempana” dan “Perang Pelepah Pisang” (Tetabahan) di Desa Bugbug (Kec. Karangasem), “Perang Buah Pisang”, Masabat-Sabatan Biyu  di Desa Tenganan Dauh Tukad, dan “Perang Pandan Berduri” yang dikenal dengan Mekare-Kare terdapat di Desa Tenganan Pegeringsingan (Kec. Manggis) salah satu desa penduduk Bali Aga (Bali asli).

Salahsatunya yang akan kita bahas kali ini adalah “Perang Api” atau yang disebut dengan Terteran oleh masyarakat di Desa Jasri, Kelurahan Subagan, Kec./Kab. Karangasem, sekitar 4 km dari kota Amlapura menuju jalur arah jalan Amlapura–Denpasar. Terteran sama artinya dengan lempar-lemparan.

Tradisi Terteran yang digelar setiap dua tahun sekali pada tahun bilangan genap ini, terkait dengan digelarnya upacara desaAci Muu-Muu yang diselenggarakansetiapPengerupukan hariTilem Kasanga, sehari sebelum hari Nyepi. Tradisi ini bertujuan untuk menetralisir roh jahat yang mengganggu kehidupan manusia.

JALANNYA PROSESI :

Saat sandikala, persiapan Terteran segera akan dimulai. Diawali sekitar 50 orang laki-laki tua-muda dari para jero mangku, prajuru desa den pengikut lainnya dengan mengenakan kain putih serta kepala terikat daun enau berangkat berjalan kaki menuju Pantai Jasri sekitar 500 meter di sebelah selatan desa untuk melarung caru. Sekembalinya mereka dari melarung caru ke laut malam sudah menyungkup bumi. Tak ada bersitan lampu penerang di jalan maupun rumah. Begitu mulai memasuki perempatan jalan tepat di patung salak, mereka pembawa caru dihadang serta diter (dilempari) bobok (obor) oleh puluhan orang warga desa. Lemparan bobok itu dilakukan di tiga titik lokasi disepanjang jalan dari pantai menuju Pura Bale Agung. Pembawa caru yang disebut dengan Wong Bedolot itu, tidak boleh melawan, hanya menangkis saja dengan obor yang mereka bawa, apabila obor yang dipakai melempar itu habis, maka Wong Bedolot sudah lepas dari cengkeraman lemparan, dan terus lari bergegas-gegas menuju arah Pura Bale Agung.

Maksud melempar dengan bobok, bahwa sekembalinya pembawa caru dan pengiringnya dari pantai diperkirakan masih diikuti oleh sejumlah roh jahat yang dapat mengganggu ketentraman lingkungan, karena itu ia harus dinetralisir dan tidak boleh masuk ke wilayah desa, sehingga alam lingkungan desa menjadi tentram. Suasana malam itu betul-betul kelam dan tegang, tanpa seberkas sinar lampu di rumah penduduk. Yang terlihat hanyalah pancaran sinar obor di kegelapan malam.

Setelah para pembawa caru dan pengiringnya sampai ke Pura Bale Agung, malam itu juga sekitar jam 07.00 barulah digelar ”perang tanding” Terteran massal. Atraksi Terteran digelar di sepanjang jalan raya umum tepatnya di muka Balai Masyarakat Jasri.

”Medan perang” yang boleh dijelajahi kedua kelompok berhadap-hadapan arah utara-selatan, itu terpisah oleh batas wilayah kelompok, berupa bentangan daun enau yang diikatkan di dua buah penjor yang dipancangkan di sebelah barat dan timur jalan raya.

Bobok (obor) yang dipakai ngeter (melempar) itu, terbuat dari seikat danyuh (daun kelapa kering) yangberukuran sekitar 80 cm. Di tengah cekalan daun kelapa itu, terdapat sebatang kayu kecil berukuran seperempat dari panjangnya obor. Hal itu dimaksudkan agar lemparan obornya lebih jauh, cepat, keras dan helain daun nyiur tidak lepas terurai. Para pemainnya, orang laki-laki tua maupun muda, tidak mengenakan baju, mereka hanya mengenakan kain atau celana.

Begitu peluit tanda mulai dibunyikan oleh petugas Terteran, mereka silih berganti menyerang, obor berseliweran menyerang lawan dari atas maupun bawah, bahkan sampai membentur tubuh teman sendiri. Semburan api yang terlempar sangat indah, seperti kunang-kunang dikegelapan malam.

Pasukan perang Terteran, mereka semangat sekali melakukan peperangan keringat bercucuran membasahi badannya. Meski luka bakar, rasa senang, perih dan sakit berbaur menjadi satu, namun tak mereka rasakan serius luka itu, sebab kalau sudah memegang secekal obor pada gejolak hati peperangan itu mereka seolah-olah tak ingat apa-apa lagi. Terkadang lemparan obor tidak memenuhi sasaran sampai membentur penonton, suara riuh penonton lainnyapun pecah menertawakan penonton yang kena sasaran lemparan.

Keseluruhan ”peperangan” berlangsung bisa mencapai sekitar 1 jam, dan berlangsung sampai tiga babak. Berakhirnya babak ke babak ditandai dengan bunyi peluit oleh petugas. Dan peperangan berakhir apabila habisnya bara obor(di danyuh) tersebut.

Atraksi ”perang tanding” massal Terteran bukan hanya digelar saat malam Pengerupukan saja, tetapi lagi dua harinya, pada ngembak geni (sehari setelah Nyepi), lagi digelar ”perang tanding” Terteran di tempat yang sama. Katanya memberikan kesempatan bagi penonton atau warga desa Jasri yang belum sempat menyaksikan dan ikut ”perang tanding” Terteran.

 

Sumber : disarikan dari karangasemkab.go.id

Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait