Orang Bali Alergi Kritik?

Orang Bali Alergi Kritik?

Ada yang berpendapat bahwa semua kritik membangun, tapi tak seorangpun (sungguh-sungguh) bisa menerima kritik tanpa tersinggung. Yang masih bisa diterima adalah saran atau masukan. Namun di sisi lainnya ada juga—mungkin sebagian besar—yang berpendapat sebaliknya; kritik pada dasarnya baik thus semua orang mestinya terbuka terhadap kritik, sepanjang dimaksudkan untuk perbaikan, lumrah disebut “kritik membangun.”

Di luar pro-kontra ini, apakah orang Bali terbuka terhadap kritik?

Menurut Putu Wijaya, TIDAK, orang Bali cenderung alergi terhadap kritik. Ya, I Gusti Ngurah Putu Wijaya, sastrawan/sineas/penulis scenario film kelahiran Tabanan yang terkenal itu.

Dalam sebuah kolom di Harian Bali Post secara implisit Putu Wijaya mengatakan demikian. Sebuah tulisan pendek berjudul “Menulis Bali” menuturkan percakapan singkat seorang lelaki Bali (yang saya asumsikan sebagai Putu Wijaya sendiri) dengan menantunya yang belum memahami karakter orang Bali dan saya asumsikan sebagai non-Bali atau orang Bali yang tak pernah hidup di Bali.

Sang menantu sangat ingin menulis artikel terkait Bali namun bingung bagaimana cara menuliskannya. Putu pun memberi arahan singkat kepada menantunya. Menurut Putu, ketika hendak menulis terkait Bali perlu dipisahkan terlebih dahulu apakah ingin menulis “tentang” ATAU “untuk” (orang) Bali?

Jika hendak menulis tentang Bali, menurut Putu, mestinya menyingkap semua sisi—baik dan buruk—sehingga pembaca memperoleh gambaran utuh tentang Bali. Namun jika hendak menulis untuk (orang) Bali, sebaiknya hanya menyingkap sisi baiknya saja; kalau bisa yang memuji-muji, katanya.

Putu pun mengingatkan menantunya agar jangan sekali-kali menulis keburukan Bali jika dimaksudkan untuk dibaca oleh orang Bali. “Harus hati-hati sekali” Putu mewanti-wanti. Harus hati-hati, katanya, karena bisa menimbulkan ketersinggungan. Salah-salah bisa panjang urusannya. Dari sini jelas tergambar bahwa Putu Wijaya menilai pada dasarnya sebagian besar masyarakat Bali “alergi kritik”.

Saya penggemar karya-karya Putu Wijaya yang hampir selalu menggelitik. Demi menyimak rangkaian kalimat-demi-kalimat yang ia tuliskan di kolom tersebut tanpa saya sadari telah menghabiskan waktu hampir satu jam di sebuah warung Babi Guling di kawasan Luwus (Tabanan). Dalam perjalanan dari Luwus ke Denpasar, usai makan, saya berpikir dan bertanya-tanya: benarkah Orang Bali begitu sensitif ketika dihadapkan dengan kritik, seperti yang diungkapkan oleh Putu Wijaya?

Saya tahu Putu Wijaya adalah salahsatu putra Bali yang, meskipun sudah begitu tenar dan puluhan tahun tinggal di Jakarta, tak pernah lupa dengan keBalian-nya. Dan dengan usia yang sudah tergolong senior, tentulah beliau sangat paham bagaimana karakter saudara-saudaranya di Bali.

Saya sendiri—sebagai orang Bali—juga bisa merasakan apakah terbuka atau tertutup terhadap kritik. Tetapi kan tidak mewakili karakter orang Bali secara keseluruhan yang saat ini jumlahnya sudah mendekati 4 juta orang.

Dari sekian banyak interaksi yang pernah saya alami dengan semeton Bali lainnya, setidaknya dengan sekitar 200 orang Bali yang ada dalam Dadia (merajan) yang sama, saya bisa mengatakan bahwa pandangan Putu Wijaya tidak sepenuhnya benar juga tidak sepenuhnya salah.

Diantara ribuan topik yang pernah di post di websitenya popbali.com dan Facebook pagenya yang beranggotakan sekitar 2000 orang, banyak diantaranya yang berisi kritik terhadap Bali dan orang Bali. Artikel-artikel berikut ini misalnya:

Dan masih banyak yang lainnya (belum lagi topik-topik sensitif/kontroversial yang diupload di Facebook pagenya POP BALI dan kerap menjadi perdebatan sengit.)

Sebagai admin, saya bisa melihat bagaimana respon semeton Bali terhadap topik-topik yang diangkat, termasuk yang secara terang-terangan mengkritik Bali dan perilaku penghuninya. Dari sini saya berani mengambil kesimpulan bahwa, sebagian kecil semeton Bali mungkin masih ada yang seperti Putu Wijaya katakan (alergi kritik), namun sebagian besarnya tidak. Sekian lama ditinggalkan oleh Putu Wijaya, Bali dan penghuninya telah banyak mengalami perubahan, termasuk dalam hal karakter. Terlebih-lebih di era Media Sosial sekarang ini, setidaknya menurut pendapat saya pribadi, orang Bali sudah sangat terbuka.

Tetapi ada satu hal yang saya setujui dari ungkapan Putu Wijaya, yakni: ORANG BALI ITU CENDERUNG SENSITIF, terutama terhadap hal-hal yang mengandung energy negative. Bukan terhadap kritik negative saja, bukan terhadap (orang) Bali saja, semeton Bali di era sekarang ini bisa dibilang ALERGI terhadap segala informasi dan pemberitaan yang mengandung unsur negativitas. Berita atau informasi yang memojokkan seseorang/sekelompok orang misalnya, pasti tidak disukai. Apalagi yang bersifat menyerang. Dan menurut saya, alergi terhadap negativitas ini justru bagus, bahkan perlu terus dipupuk.

Bagaimana menurut semeton Bali?

 

Sumber: PopBali

Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait