Menikahi Orang Setempat, Trik Pelaku Bisnis Asing di Bali dapat Tanah Sah

Menikahi Orang Setempat, Trik Pelaku Bisnis Asing di Bali dapat Tanah Sah

Sesuai dengan amanat Konstitusi Republik Indonesia yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 45) khususnya Pasal 1 ayat (3) yang menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Amanat UUD 45 tersebut tentu saja membawa dampak yang bermata dua, maksudnya adalah pertama segala sesuatu bentuk kegiatan atau hal-hal yang berkaitan dengan negara harus berdasarkan aturan atau harus mempunyai dasar hukum. Namun disisi lain, adanya aturan di setiap sendi kehidupan akan menciptakan suatu kondisi yang kaku atau tidak dinamis.

Hukum dapat pula dikatakan sebagai sumber atau kitab yang berisi tentang aturan main atas segala sendi kehidupan khususnya kehidupan bernegara jika dikaitkan dengan konsep negara hukum yang ada dalam UUD 45. Namun penulis menyatakan bahwa hakikatnya hukum ada sebagai suatu acuan. Acuan yang dimaksud adalah semacam panduan yang wajib kita miliki, agar segala sesuatu yang kita ingin laksanakan dapat tercapai dengan baik dan tepat guna.

Sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UUD 45 bahwa Indonesia adalah negara hukum jadi artinya setiap perbuatan yang dilakukan harus didasari oleh hukum. Apabila suatu perbuatan yang dilakukan tidak didasari atas hukum maka dapat dikatakan perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum, perbuatan illegal, atau yang di istilahkan dalam bahasa belanda menjadi onrechtmatigdaad.

Jika sudah terjadi suatu perbuatan melawan hukum, maka tentu saja telah mencederai amanat UUD 45 yang mengharuskan adanya penghormatan terhadap hukum yang dimiliki oleh Negara Indonesia itu sendiri.

Penyelundupan Hukum

Kemudian berbicara mengenai perbuatan melawan hukum tentu saja didasari atas adanya suatu kasus, dan yang kemudian menarik perhatian penulis adalah adanya penyelundupan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha asing terkhusus daerah Bali yakni pada sektor kepariwisataan.

Bali sebagai salah satu pulau andalan Negara Indonesia dan sebagai daerah pariwisata tentu saja menyimpan banyak potensi baik secara ekonomis maupun kebudayaan. Bali sebagai daerah unggulan pariwisata di Indonesia dapat kita lihat dari statistik wisatawan khususnya asing, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali tercatat pada kurun waktu tahun 2012-2014 terdapat 14.833.209 orang wisatawan asing yang datang ke Bali untuk merasakan berbagai keindahan panorama alam yang sangat indah.

Selain itu, Bali juga mendapatkan perolehan penghargaan Best island Destination Asia-Pacific in Asia Pacific yang diberikan oleh majalah DestinAsian pada acara The Fifth Annual DestinAsia Readers Choice Awards, tertanggal 8 Februari 2010 sebagaimana dikutip dalam website Dinas Pariwisata Pemerintah Provinsi Bali. Melalui berbagai sumber tersebut, tidak dapat diragukan lagi bahwa Bali memang menjadi tujuan utama wisata di Dunia khususnya di Indonesia.

Namun seiring dengan berjalannya waktu, para wisatawan yang berlibur ke Bali tidak hanya bertujuan untuk merelaksasi diri dan menikmati indahnya panorama Bali, akan tetapi tujuan dari para wisatawan dewasa ini lebih tertuju kepada arah yang komersil. Yakni adanya keinginan membuat suatu usaha di Bali.

Terlebih para wisatawan asing yang memiliki modal besar tak jarang pada saat ini membuka usaha yang berdomisili di Bali. Contohnya saja banyak sekali usaha-usaha seperti Hotel, Restoran, dan Tempat Hiburan di Bali yang dimiliki oleh orang asing, dewasa ini.

Mungkin fenomena ini sekilas baik-baik saja atau bahkan dilihat sebagai suatu hal yang positif karena dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Bali. Namun jika kita melihat fenomena ini dari segi hukum, adanya kepemilikan usaha yang dimiliki oleh orang asing adalah suatu masalah hukum:

Adanya suatu usaha diawali oleh dimilikinya suatu lahan atau tanah dimana nantinya akan menjadi tempat dalam membangun usaha tersebut. Dasar hukum mengenai tanah ini adalah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Tanah merupakan suatu gerbang dari adanya suatu kegiatan usaha, khususnya di Bali dengan harga tanah yang sangat mahal dan prospek bisnis yang menjanjikan membuat banyaknya investor asing yang ingin menanam modalnya.

Akan tetapi sesuai dengan ketentuan Pasal 21 UUPA menjelaskan bahwa Hak Milik hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia, dalam konteks ini hak milik atas suatu tanah. Akan tetapi akhir-akhir ini banyak masyarakat Bali yang menjual tanahnya kepada pihak asing untuk dijadikan usaha, padahal pihak asing tidak boleh memilki tanah di Indonesia khususnya Bali.

Tetapi pihak asing diberikan Hak Guna Pakai sesuai dengan ketentuan Pasal 42 huruf b UUPA yang dilakukan dengan perjanjian sewa menyewa atas jangka waktu tertentu, bukan dimiliki sepenuhnya oleh pihak asing tersebut sebagaimana yang terjadi saat ini.

Atau ada trik (modus) yang sudah sering terjadi adalah orang asing tersebut menikahi orang setempat (khususnya orang Bali atau Indonesia pada umumnya) agar bisa mendapatkan Hak Milik suatu tanah di Bali secara sah.

Jika fenomena ini terus terjadi, tentu saja akan merugikan negara pada umumnya dan tentu saja Bali pada khususnya. Tidak saja telah terjadi kerugiaan ekonomi yang diderita negara, tetapi yang lebih parah kita tidak bisa menjalankan amanat UUD 45 bahwa Indonesia adalah negara hukum, dan sudah seharusnya kita menjunjung tinggi hukum kita bukan malah melanggarnya dengan berbagai alasan yang sesungguhnya hanya tameng bagi keuntungan diri kita sendiri.


Ditayangkan sebelumnya dari situs Teuku Fachryzal Farhan
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait