Ketakutan Kami Jika Teluk Benoa Jadi Direklamasi

Ketakutan Kami Jika Teluk Benoa Jadi Direklamasi

Wartawan senior itu menulis tentang menguatnya dukungan terhadap pro reklamasi. Saya heran, bagaimana seorang wartawan senior bisa menulis dengan begitu “gila”-nya.

Tulisan tersebut, saya rasa kok nyambung dengan catatan saya sewaktu Sesetan melakukan aksi pada 28 Januari 2016 lalu.

Saat saya ikut demo menolak reklamasi Teluk Benoa, seorang teman bertanya, “Apa sih motivasimu ikut demo-demo lagi? Kalau ingin survive bekerjalah! Demo hanya untuk mahasiswa yang kelebihan waktu. Atau mereka yang dibayar dengan sebungkus nasi jingo dan selembar uang merah.”

Saya jawab sebagai berikut.

Saya dimotivasi oleh ketakutan. Saya bergerak bersama mereka yang memiliki tujuan sama untuk menolak reklamasi Teluk Benoa. Mereka tentu memiliki motivasi yang berbeda-beda tetapi kebanyakan dari mereka memiliki motivasi yang sama, ketakutan!

Dampak reklamasi Pulau Serangan mengikis Pantai Lebih, menyisakan cerita sertifikat tanpa tanah dan tergerusnya bibir indah Pantai Sanur. Saya takut jika reklamasi Teluk Benoa yang akan mengambil area lebih luas terlaksana, tanah tempat tinggal kami hanya ada dalam catatan sertifikat di BTN.

Tidak ada lagi daratan, semua tertutup air!

Proyek ini katanya akan mendatangkan ratusan ribu tenaga kerja. Jelas anak-anak saya akan tersisih dalam perebutan kesempatan bekerja di sektor yang tidak mengenal arti menyama braya. Dalih profesional akan memaksa mereka memilih di antara uang atau menjalankan swadarmanya sebagai orang Bali.

Karena mereka sejak di dalam kandungan sudah ditanamkan keyakinan bahwa merekalah generasi penerus tradisi-tradisi utama sebuah peradaban manusia. Mereka tidak bisa bekerja hanya sehari libur, karena odalan memerlukan lebih dari sehari. Ngaben juga, begitu pula perkawinan dan mlaspas rumah.

Akhirnya mereka harus meninggalkan tanah kelahirannya. Tanah yang mengundang begitu banyak orang datang untuk mengais rezeki. Rezeki yang datang karena aktivitas budaya dan religi yang harus mereka lakukan.

Namun, dalih rezeki itulah yang mengusir mereka dari tanah orang tuanya…

Saya juga takut ketika di usia senja harus menjadi Ridwan Saidi, budayawan Betawi, yang terus berteriak tentang eksistensi orang-orang Betawi di tanah kelahirannya. Terus berteriak agar orang Betawi bisa menjadi pemimpin di Tanah Betawi. Bahkan mengeluarkan sumpah serapah karena orang-orang Betawi yang dia banggakan sebagai pemilik tanah Ibu Kota tidak pernah lagi tampil untuk memimpin orang-orang yang menjejali tanah penuh peruntungan.

Karena kecintaannya akan Betawi dia sampai menjadi lupa kalau orang Betawi sudah terpinggirkan di tanah leluhurnya. Bahkan mereka hendak dihapus oleh waktu karena Betawi sudah menjadi Jakarta!

Bahkan saya begitu takut membayangkan anak-anak saya kelak, harus bergerombol, berkelahi hanya untuk merebut sepetak lahan parkir. Di tanah yang dulu orang tuanya hidup dalam kedamaian. Di tanah yang begitu ramah bagi penghuninya, tanah para dewa katanya.

Ketakutan ini telah mengingatkan saya untuk melawan dan tetap melawan. Karena hanya dengan perlawanan inilah masa depan anak-anak saya dan masa di mana saya akan lahir kembali masih bisa menjadi tempat yang damai dan nyaman untuk ditinggali.

Masa yang harus diperjuangkan dari sekarang, di mana Pura, sanggah dan halaman-halaman rumah masih mengepulkan dupa di atas canang.

Tidak hanya penggalan kisah dalam catatan sejarah tentang sebuah negeri yang dikenal sebagai tanah para dewa, di mana aktifitas budaya dan religinya menyatu menghasilkan vibrasi kedamaian bagi mereka yang datang!

Saya jelas takut, kalau kisah saya dan kaum saya hanya menjadi cerita tanpa bukti lagi. Seperti Atlantis yang hilang, begitu pula Suku Maya.

Ratu Betara, janganlah wangsa Bali ini juga harus hilang dari peradaban ini. Izinkan kami mempertahankan eksistensi kami.

Lalu, teman saya pun tersenyum, ikut melangkah pasti, mengepalkan tangan kiri dan mengangkatnya tinggi. Berteriak lantang, “Sesetan Bersatu. TOLAK REKLAMASI!!!!” [b]


Ditayangkan sebelumnya dari situs balebengong
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait