[Bag. 2] Mitos dan Pemujaan Bathari Durga: India, Jawa dan Bali

[Bag. 2] Mitos dan Pemujaan Bathari Durga: India, Jawa dan Bali

Perkembangan Mitos dan Pemujaan Bhatari Durga: di Jawa dan Bali

Di Nusantara, arca Bhatari Durga dalam bentuk Durga Mahisasuramardini telah ditemukan di beberapa candi di Jawa Barat pada abad ke-6th Masehi (Hariani Santiko, 1987), dan arca Durga Mahisasuramardini banyak ditemukan di Jawa Tengah terutama pada candi-candi Hindu beraliran Siwa, seperti misalnya di Candi Prambanan, dimana arca Durga Mahisasuramardini ditemukan di bagian utara candi Siwa. Pemujaan terhadap Bhatari Durga biasanya dilakukan oleh para raja untuk memohon kemenangan dalam perang. Tetapi Durga juga dipuja oleh kaum Brahmana, Wesya dan Sudra untuk mendapatkan perlindungan dari musuh. Setelah pindahnya kekuatan kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada pertengahan abad ke-9 Masehi, pemujaan terhadap Durga juga dilakukan oleh para raja di Jawa Timur seperti Kediri, Singosari dan Majapahit. Peninggalan dari arca Durga di Jawa Timur ditemukan di beberapa candi Hindu seperti Candi Singosari, Candi Sambisari, Candi Gedong Songo, dimana arca Durga masih punya ciri-ciri yang sama dengan arca di Jawa Barat, Jawa Tengah sedangkan arca Durga yang ditemukan di Jawa Timur telah mulai mengalami perubahan yang radikal yaitu arca Durga digambarkan sebagai Dewi Durga Mahisasuramardini bertaring (Hariani Santiko, 1987).

Penggambaran Dewi Durga yang lebih ektrim ditemukan di relief Candi Penataran dan Candi Tigawangi dimana Durga telah digambarkan sebagai Dewi Raksasa dengan tubuh tinggi, rambut acak-acakan, bertaring dan mata melotot.

Di Bali, berdasarkan prasasti yang dikeluarkan oleh Anak Wungsu (kira-kira abad ke 11 Masehi) banyak menyebutkan pemujaan terhadap Durga, sedangkan beberapa arca yang kita temukan di Bali pada jaman Anak Wungsu masih menggambarkan ciri-ciri khas Durga Mahisasuramardini tetapi telah ada akulturasi dengan budaya local. Misalnya arca Durga Mahisasuramardini yang terdapat di Pura Dalem Kutri, Buruan, Gianyar, Durga digambarkan memiliki delapan tangan yang semua memegang senjata tetapi salah satu tangan Durga memegang keris yaitu senjata khas Bali dan absennya gambaran Mahisasura dalam Durga Kutri. Di Pura Samuan Tiga, Bedulu, Gianyar juga ditemukan beberapa arca Durga Mahisasuramardini, tetapi oleh penduduk lokal arca tersebut dinamakan Ratu Pasek, sama halnya dengan arca Durga Mahisasuramardini di Candi Prambanan, orang awam menyebutnya Loro Jongrang.

Pada saat ini, kalau kita berbicara tentang Bhatari Durga, yang ada dalam benak kita orang kebanyakan adalah Durga yang disamakan dengan sosok Rangda, yaitu suatu image yang menyeramkan dengan sosok tinggi besar, rambut panjang awut-awutan, mata melotot, lidah menjulur dan bersemayan di kuburan Ganda Mayu. Demikianlah image yang diceritakan oleh generasi pendahulu seperti kakek saya dan orang-orang di kampong saya. Dan gambaran serupa tentang Dewi Durga juga dapat kita buktikan dalam literature dan visual seperti cerita Sudamala, Andha Bhuwana dan Calon Arang sedangkan bukti secara visual bisa kita lihat di relief candi-candi di Jawa seperti Candi Tigawangi dan Candi Sukuh dan di beberapa pura Dalem di Bali.

Berdasarkan bukti tertulis dan bukti visual, saya membuat spekulasi tentang faktor-faktor yang mungkin menyebabkan perubahan/perkembangan radikal Durga dari sosok Dewi Perang yang cantik jelita menjadi Dewi Raksasi yang menyeramkan setelah pindahnya kekuatan kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur (abad ke-10 sampai 15 Masehi) dan di Bali sampai saat ini.

 

Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

  • Sosok Bhatari Durga sebagai dewi perang mungkin dianggap terlalu ektrim dan terlalu provokatif oleh masyarakat yang menganut system patriarki terutama di Jawa dan Bali walaupun sebenarnya ada tokoh Sri Kandi dianggap anomaly dan diterima dalam masyarakat.

  • Pencitraan Bhatari Durga dalam beberapa literature (Ghatotkacasraya) dan prasasti (Petak dan Trilokyapuri) yang digambarkan sangat senang menerima persembahan sesajen berupa daging mentah dan darah, pencitraan seperti ini ditemukan dalam prasasti bagian kutukan terhadap orang yang berani melanggar aturan-aturan yang diterapkan dalam prasasti untuk menjaga keamanan wilayah sima atau tanah milik komunal seperti tanah pengemponpura di Bali.

  • Perkembangan lebih lanjut yang terjadi pada Dewi Durga berdasarkan karya sastra Calon Arang adalah Dewi Durga disamakan atau dikelirukan dengan pemuja setianya yaitu Rangda ing Dirah. Hal ini, menurut pemikiran saya adalah adanya kerentanan status janda (rangda) bagi perempuan di dunia. Kalau janda itu cantik tentu akan banyak mendapat godaan dari laki-laki dan juga akan banyak dicemburui oleh kaum perempuan.                                                                                              

Takdir Seorang Dewi: diciptakan, dipuja, dituduh dan dikutuk

Dalam makalah singkat ini, saya hanya ingin mengkaji dan membandingkan pemujaan dan pencitraan Durga di India dan Bali. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa perubahan radikal pada Dewi Durga telah terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama. Pada prinsipnya pemujaan terhadap Durga tetap dipertahankan yaitu untuk mengalahkan para musuh, tetapi musuh jaman sekarang tidaklah sama dengan musuh di jaman lampau. Misalnya pada jaman kerajaan di masa lampau seperti yang diceritakan dalam Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular (1365-1389 Masehi) pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dari jaman Majapahit, raja-raja yang dibantu oleh para pandita (Siwa-Buda) menyembah Durga sebagai Dewi Perang supaya bisa memenangkan pertandingan. Dalam cerita Sutasoma dipaparkan bahwa baik Raja Sutasoma (Buda) maupun Raja Purosada (Siwa) menyembah Durga sebelum ke medan perang. Durga sebagai dewi yang maha pengasih dan penyayang, tentu memberikan anugrah kepada siapapun yang memujanya dengan khidmat (Zoetmulder 1974: 331).

Di samping dipuja-puja untuk menang perang, Dewi Durga juga dituduh berselingkuh dengan Dewa Brahma seperti yang dipaparkan dalam versi kidung Sudamala (digubah antara 1365-1406 Masehi) pada jaman pemerintahan raja-raja di Jawa Timur. Sedangkan kalau di Bali perselingkuhan Dewi Durga (Uma) dipaparkan dalam cerita Rare Angon, dimana Dewi Uma dituduh berselingkuh dengan seorang pengembala sapi (jelmaan Dewa Siwa sendiri). Sepenggal cerita perselingkuhan Dewi Durga dalam versi kidung Sudamalaadalah sebagai berikut:

Diceritakan bahwa Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Asihprana dan Sang Hyang Wisesa mengadakan pertemuan di istana Ida Bhatara Guru, rajanya para dewa. Mereka membicarakan kelakuan yang salah Dewi Sri Uma, istri Bhatara Guru, dimana Dewi Uma telah dituduh berselingkuh dengan Dewa Brahma. Bhatara Guru sangat murka mendengar kabar perselingkuhan istrinya, serta merta Bhatara Guru mengutuk istrinya yang cantik menjadi Durga dengan sosok raksasi yang menyeramkan. Uma yang terkutuk digambarkan sebagai sosok raksasi berubuh besar tinggi, rambut awut-awutan, mata bagaikan matahari kembar, mulutnya bagaikan goa dengan taring tajam dan panjang, lobang hidungnya bagaikan sumur kembar, dan seluruh tubuhnya penuh dengan bentolan dan loreng.

Di dalam kidung Sudamala, tidak hanya dikutuk untuk menjelma menjadi dewi raksasi, Dewi Durga juga diturunkan dari kahyangan dan bersemayam di setra ganda mayu dan memangsa mayat untuk kelangsungan hidupnya. Dewi Durga raksasi hanya akan bisa kembali berubah wujud menjadi dewi yang cantik apabila telah disupat atau diruwat oleh Dewa Siwa sendiri melalui Sahadewa anak bungsu dari Panca Pandawa. Untuk bisa tetap bertahan hidup, Dewi Durga mempunyai banyak sisya yang menyebabkan penyakit makhluk hidup lalu mati. Dewi Durga akan menganugrahi kesaktian kepada siapapun yang mau mempelajari ‘black-magic’ supaya pemujanya menjadi sakti sehingga lebih banyak santapannya apabila banyak orang yang meninggal akibat ulah dari para sisyanya. Tetapi Bhatari Durga juga berpesan kepada pemujanya agar tidak membunuh orang-orang tanpa dosa, “tan wenang kita amati wong tanpa dosa”

Itulah kisah dari terkutuknya Dewi Uma yang cantik menjadi Durga yang menyeramkan versi Indonesia. Ketika saya bertanya pada orang-orang di India mengenai ceritaSudamala tersebut, baik sarjana maupun orang awam tidak mengetahui cerita tentang perselingkuhan istri Dewa Siwa dengan Dewa Brahma yang akhirnya kena kutuk. CeritaSudamala adalah hasil pemikirin pengawi atau sastrawan Indonesia yang telah disisipi ide dan norma-norma, tradisi local untuk memposisikan perempuan di dunia patriarki. Perempuan cantik adalah sosok yang dipuja-puja dan dalam waktu yang bersamaan juga sangat rentan untuk terkena gossip maka terjadilah perubahan citra dari perempuan pujaan menjadi perempuan terkutuk. Citra perempuan akan kembali cantik apabila telah diruwat (diperistri) oleh laki-laki.

Kesimpulan

Mitos dan Pemujaan terhadap Dewi Durga mengalami perjalanan dan proses yang panjang dan berliku mulai dari asal mulanya di India lalu menyebrang samudra luas sampai ke Nusantara, khususnya Jawa dan Bali. Berdasarkan sejarah perkembangan Dewi Durga, bisa kita ambil kesimpulan sebagai berikut:

  • Pada dasarnya tujuan pemujaan terhadap Dewi Durga adalah sama seperti tujuan utama penciptaan Dewi Durga yaitu untuk menang perang melawan musuh; dimana menurut kepercayaan Hindu musuh itu banyak macamnya. Bagi saya musuh yang paling sulit dikalahkan adalah musuh dalam diri kita sendiri yang berupa sad ripu (kama: nafsu, lobha: tamak, krodha: kemarahan, moha: kebingungan, mada: mabuk, matsarya: dengki, iri hati).

  • Betapapun garangnya laki-laki, biasanya dia bisa ditaklukkan oleh perempuan cantik.

  • Sangatlah susah menjadi perempuan cantik apalagi punya prestasi, akan banyak gossip dan tuduhan miring terhadap perempuan tersebut.

  • Perempuan akan bisa kembali cantik apabila diruwat oleh laki-laki.   


Ditayangkan sebelumnya dari situs Ni Wayan Pasek Ariati, PhD
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait