8 Alasan Untuk Tidak Mengunjungi Bali

8 Alasan Untuk Tidak Mengunjungi Bali

Musim liburan sekolah sudah tiba. Tidak hanya pelajar, para orang tua juga banyak yang sengaja mengambil cuti panjang pada bulan ini. Tentunya untuk menemani putra-putrinya berlibur.

Kemana anda berlibur? Ada rencana untuk berwisata ke Bali?

Jika iya dan akan menjadi kunjungan pertama ke Bali, mungkin ada baiknya meluangkan waktu beberapa menit untuk membaca tulisan ini yang sengaja saya hadirkan khusus untuk anda.

Memang bukan seorang pakar perjalanan wisata juga bukan traveler yang sering jalan-jalan. Namun, setidak-tidaknya, saya tahu seluk-beluk Bali dengan baik—dari aspek geografis, destinasi wisata, seni-budaya, sampai sosio-historis.

Untuk apa tulisan ini dibuat? Mungkin anda berpikir begitu.

Sederhana: saya capek membaca keluhan wisatawan lokal tentang Bali, di blog dan forum-forum, yang dari tahun-ke-tahun itu-itu saja.

Silahkan sebut saya anti-kritik, jika itu dirasa lebih tepat. Namun point utama yang ingin saya sampaikan di sini adalah rasa bosan terhadap keluhan-keluhan klise yang cenderung konyol.

Bagaimana tidak konyol, keluhan yang disampaikan lebih banyak realitas yang tidak mungkin diubah, keniscayaan yang hanya menyisakan pilihan ‘take it-OR-leave it.’ Mengeluhkan hal seperti ini selama bertahun-tahun, jika bukan sinting ya ‘dongo‘. Betul tidak?

Khusus keluhanan tentang Bali, sebagai destinasi wisata, saya percaya wisatawan TIDAK ‘dongo‘ apalagi sinting. Hanya saja, mungkin, kurang informasi—mengunjungi Bali tanpa mencari tahu tentang kondisi Bali terlebih dahulu.

Omong punya omong, informasi tentang Bali mudah diperoleh. Di era internet seperti sekarang siapapun bisa ‘googling’ lewat ponsel dalam hitungan menit. Sehingga, jika masih ada saja wisatawan yang mengaku “terkaget-kaget” setelah mengunjungi Bali, kemungkinannya jika bukan kupernya kelewat batas berarti watak nyinyirnya melebihi nenek-nenek.

Saya percaya anda bukan type kuper atau nyinyir. Sampai tiba di laman website yang tidak terkenal macam popbali.com ini tetunya karena anda sedang berupaya mengumpulkan informasi tentang Bali sebanyak-banyaknya, sebelum datang berkunjung. Good!

Mudah-mudahan tulisan ini bisa melengkapi informasi yang sudah ada di tangan anda saat ini. Tujuan saya (sekali lagi) sederhana saja, yakni: agar anda tidak menyesal mengunjungi Bali lalu mengeluh panjang-lebar di blog dan forum-forum, seperti nenek-nenek, gara-gara anda merasa buang uang dengan berwisata ke Bali.

Saya tahu, wisatawan berhak untuk mengeluhkan destinasi wisata yang mereka kunjungi bila tidak memuaskan, termasuk Bali. Yang ingin saya ingatkan melalui tulisan ini adalah: anda juga berhak untuk tidak berkunjung ke Bali, jika 8 hal berikut ini adalah sesuatu yang tidak anda harapkan:

 

1. Banyak Orang Telanjang

Bali adalah destinasi wisata internasional. Kehadiran wisman di Bali untuk mencari kehangatan matahari tropis, thus suka bertelanjang dada, sudah menjadi semacam keniscayaan.

Jika anda tidak suka pemandangan seperti ini, sebaiknya anda tidak datang ke spot wisata pantai macam Kuta, Jimbaran atau Sanur.

Untuk lebih amannya, destinasi wisata selain Bali mungkin pilihan yang lebih bijak. Sebab, di daerah wisata pedesaan macam Ubud atau Tulamben pun tidak ada jaminan pasti bebas dari wisatawan asing berbikini, setidak-tidaknya di kolam renang atau restoran hotel.
 

2. Banyak Anjing Berkeliaran

Anjing tergolong hewan yang paling banyak dipelihara di Bali—selain kucing, ayam, bebek, kambing, sapi, dlsb. Anda boleh berasumsi bahwa: setiap 1 keluarga orang Bali hampir bisa dipastikan memelihara minimal 1 ekor anjing. Pada kenyataannya, kadang lebih dari seekor. Dan khususnya di pedesaan, seperti wilayah Ubud, keberadaan anjing berkeliaran di jalan lingkungan-desa adalah pemandangan yang lumrah.

Saya tidak pernah melakukan riset mengenai di pulau mana (di Indonesia) anjing paling banyak dipelihara. Namun, saya pernah membaca tulisan seseorang, di sebuah blog (maaf lupa namanya), yang menuturkan kekagetannya demi mendapati kenyataan bahwa banyak anjing berkeliaran di Bali.

Saya tahu, tidak semua orang melihat anjing sebagai hewan peliharaan yang wajar bagi manusia. Kepada wisatawan yang seperti ini saya sungguh kasihan dan ikut prihatin. Bayangkan dia mengaku terpaksa seharian hanya ngendon di kamar karena takut ketemu anjing bila keluar hotel. Sayang sekali, bukan?

Nah, jika anda tidak suka (atau takut) anjing, sebaiknya tidak berkunjung ke wilayah pedesaan. Meskipun tidak digigit, kemungkinan kaki/tangan diendus oleh anjing yang ketemu di jalan, besar.

Dan, jika anda benar-benar alergi terhadap anjing, apapun penyebab dan alasannya, untuk lebih amannya sebaiknya tidak berkunjung ke Bali.

 

3. Kembang, Sesajen dan Dupa di Mana-mana

Yang namanya pohon Kamboja, di luar Bali, biasanya hanya ada di kompleks pemakaman (kecuali mungkin di perumahan-perumahan tertentu). Itu sebabnya Kamboja sering disebut sebagai “kembang kuburan” selain Kenanga. Sedangkan di Bali hampir semua rumah dihiasi oleh kembang, terutama Kamboja, termasuk di hotel dan villa.

Lalu sesajen dan semerbak wangi dupa/kemenyan, juga menjadi sesuatu yang hampir pasti anda cium ketika berkunjung ke Bali; ya di airport, di gift shops, restoran, hingga lobby hotel. Hal yang sama juga mudah anda temui di jalan-jalan lingkungan.

Jika anda merasa tidak nyaman oleh kehadiran kembang kemboja, sesajen dan semerbak bau dupa (merasa seram mungkin?), maka tidak ada solusi selain memilih destinasi wisata di luar Bali.

 

4. Susah Cari Makanan Halal

Hal lain yang banyak dikeluhkan oleh mereka yang baru pertama kali berkunjung ke Bali adalah sulitnya mencari makanan halal.

Banyak rekan dari Bali yang mati-matian berargumen bahwa hal itu tidak benar, sebab pada kenyataannya banyak warung muslim—termasuk Rumah Makan Padang dan rumah makan cepat saji—di Bali.

Sebaliknya, melalui tulisan ini saya ingin menyampaikan sejelas-jelasnya bahwa mencari makanan/minuman dijamin pasti halal di Bali memanglah sulit. Dengan kata lain, meski warung Muslim sekalipun, tetap saja anda tidak mendapat garansi pasti halal. Sebab, siapa yang bisa menjamin para pekerja mereka juga muslim? Siapa yang bisa menjamin supplier daging mereka juga muslim thus tahu caranya menyembelih ayam/sapi sesuai syariat Islam? Siapa yang bisa menjamin air cucian piring mereka tidak berasal dari sumur yang disebelahnya di huni oleh non-muslim yang kebetulan memelihara Babi? Tidak bisa dijamin.

Jika kriteria halal anda sampai pada tingkatan yang seperti demikian, maka saya pribadi sarankan sebaiknya anda tidak berkunjung ke Bali. Kecuali mau membawa makanan sendiri dari rumah atau membawa bahan untuk dimasak sendiri di villa/hotel.

 

5. Jalannya Sempit Dan Macet

Jalan di Bali rata-rata sempit. Bahkan di spot wisata paling ramai macam Kuta sekalipun. Hanya beberapa ruas jalan protokol saja yang agak lebar—seperti ByPass Ngurah Rai, Sunset Road, Gatot Subroto dan Bypass Ketewel. Itupun hanya seperenam dari jalan 6-ruas di Jakarta dan kota besar lainnya di Indonesia.

Penyebab utamanya sudah pasti lahan yang sempit. Bagaimanapun Bali itu pulau kecil. Jangan salah, Tol Bali Mandara—satu-satunya tol di Bali—pun diprotes oleh sebagian masyarakat Bali, sebab banyak menghabiskan lahan sementara manfaatnya tidak dinikmati oleh masyarakat sekitar. Membuat jalan layang tidak dibenarkan secara adat sementara membuat underpass biayanya tidak terjangkau.

Hasilnya bisa anda perkirakan sendiri, macet sudah pasti terjadi dimana-mana, terlebih-lebih jalan yang banyak dilalui oleh Bus Pariwisata.

Jadi, jika anda hendak ke Bali untuk melepaskan diri dari rutinitas kemacetan ibu kota barang beberapa hari, mungkin perkiraan anda meleset. Kecuali anda siap dengan kondisi ini maka saya sarankan agar rencana berlibur ke Bali dipertimbangkan kembali.

 

6. Banyak Sampah

Kekagetan lainnya yang banyak disampaikan oleh mereka yang pertama berlibur ke Bali adalah sampah. Meski selalu menjadi langganan penghargaan Adipura (btw, apa ya kriteria adipura itu?), pada kenyataannya harus saya akui dengan jujur bahwa, untuk kategori daerah wisata internasional, keberadaan sampah memang masih menjadi persoalan serius di Bali. Jauh jika dibandingkan dengan Sentosa (Singapore).

Saya sendiri tidak tahu apa inti persoalannya, yang jelas serakan dan onggokan sampah masih sering kita temukan hingga sekarang. Ini fakta.

Kecuali bisa memaklumi kondisi sampah ini, sama seperti rekomendasi saya sebelumnya, sebaiknya anda mengurungkan niat untuk berkunjung ke Bali. Coba kita lihat beberapa tahun ke depan, mungkin Bali akan lebih bersih lagi dibandingkan sekarang.

 

7. Kampung

“Ternyata Bali itu hanya kampung yang dipaksakan menjadi kota” keluh seseorang yang mengaku baru saja pulang dari Bali. Agak geli juga membaca keluhan semacam ini. Wisatawan macam ini yang saya sebut nyinyir dan bebal. Yang bilang Bali itu kota metropolitan siapa coba?

Bali hanyalah salahsatu provinsi di Indonesia, lokasinya pun di luar Jawa. Jelas tidak seramai dan tidak semegah kota-kota besar di Pulau Jawa. Apalagi DKI Jakarta.

Meskipun yang namanya perubahan tidak bisa dihindari, masyarakat Bali sendiri pada umumnya tidak menghendaki daerahnya—suatu saat nanti—akan menjadi kota metropolis. Mereka ingin Bali tetap lestari sebagai “kampung” seperti adanya sekarang. Setiap upaya pembangunan infrastruktur yang diperkirakan mengubah tatanan Bali sudah pasti akan memperoleh penolakan dari masyarakat. Andai Bali semacam makanan, mungkin sudah “diformalin.”

Jika anda ingin menikmati suasana kota, Bali jelas bukan pilihan yang tepat. Apalagi bagi mereka yang berasal dari kota besar seperti Surabaya, Medan, Semarang, Bandung, dlsb, mengapa tidak berwisata di dalam kota saja? Lebih irit bukan? Atau mungkin ke Singapore, Sydney, Hongkong, dan kota metropolis dunia lainnya, jika ada dana lebih tentunya.

 

8. Mata Duitan

Hal berikutnya yang cukup sering dikeluhkan adalah perilaku masyarakat di sekitar obyek wisata yang konon mata duitan. “Harga barang yang dijual mahal-mahal, cari untungnya kebanyakan, harus kasih tips, masuk obyek wisata bayar, selendang harus sewa, apa-apa serba bayar. Intinya mata duitan!” demikian kurang-lebih keluhannya.

Yang bisa saya sampaikan sehubungan dengan fenomena ini: anda bisa mengasumsikan bahwa masyarakat Bali di sekitar obyek wisata (entah asli Bali atau pendatang) SAMA SAJA dengan masyarakat lain pada umumnya (termasuk masyarakat di di lingkungan anda sendiri); mereka harus manjalani kompetisi yang demikian ketat sekedar untuk menyambung hidup di tengah kian membumbungnya inflasi. Terlebih biaya hidup di Bali tergolong tinggi jika dibandingkan daerah lain, sementara pariwisata sampai saat ini masih menjadi sektor handalan bagi Bali.

Andai berkesempatan, mereka juga ingin bisa bekerja di ruang berpendingin, bisa liburan ke luar daerah dan menjadi wisatawan. Sayangnya, mereka tidak seberuntung anda.

Kecuali anda siap menghadapi kenyataan bahwa masyarakat Bali “tidak selugu” (baca: tidak sebego) yang pernah anda dengar, sebaiknya hindari bertransaksi dengan mereka. Misal: jangan belanja di obyek-obyek wisata. Untuk amannya, saya pikir, lebih baik jika anda tidak berkunjung ke Bali.

Secara keseluruhan, jika anda tidak siap dengan kedelapan hal di atas, rasanya memang lebih baik anda berwisata ke daerah lain. Saya pikir masih banyak daerah wisata selain Bali. Tetapi jika anda merasa OK dengan semua kondisi di atas, tentu saja Bali adalah pilihan berwisata yang paling tepat, apalagi jika anda belum pernah berkunjung sebelumnya.

Singkatnya: Hingga sekarang, begitulah Bali adanya. Take it OR leave it. Ibarat berbelanja, sebagai calon pelanggan anda punya pilihan antara membeli atau tidak, dan sebagai wisatawan anda punya pilihan antara berkunjung ke Bali atau tidak.

Bahwa ada banyak hal yang masih bisa diperbaiki oleh Bali, tentu saja IYA. Dan ini menjadi PR bagi Bali itu sendiri, mereka tahu harus berbuat apa.

Bagaimanapun juga, anda batal atau jadi, Bali tetap dan sudah terlanjur menjadi daerah tujuan wisata dunia yang—ironisnya—justru banyak disesali oleh sebagian masyarakat Bali. Lebih ironisnya lagi, yang banyak menyesali justru masyarakat yang berada di daerah yang paling banyak menikmati kemajuan sektor ekonomi dari pariwisata. Hal ini, tentunya, karena pada dasarnya mereka tidak siap menerima ekses negative yang menyertai hal-hal positive yang didatangkan oleh sektor pariwisata.

Sekedar informasi saja, banyak di kalangan masyarakat Bali sendiri yang mengeluhkan maraknya mobil plat luar Bali yang membanjiri daerah mereka di musim liburan seperti sekarang thus membuat Denpasar dan Bali Selatan pada umumnya menjadi semakin macet. Sehingga, jikapun anda memutuskan untuk batal ke Bali, misalnya, saya rasa bukan sesuatu yang mereka sesali. Justru, mungkin, malah sesuatu yang mereka sukuri. Tentunya dengan harapan mudah-mudahan anda menemukan daerah wisata yang jauh lebih memuaskan dibandingkan Bali—thus WIN-WIN.

 

 

sumber: popbali

Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait