Mengemas Seni-Budaya Bali

Mengemas Seni-Budaya Bali

Melalui penyiaran sebuah kebudayan dan kesenian disebarluaskan, sehingga diketahui oleh masyarakat luas. Secara prinsip lembaga penyiaran memiliki kewajiban untuk melestarikan dan melindungi seni-budaya bangsa. Dalam Undang-Undang no. 32 tahun 2002 tentang penyiaran, terutama pada pasal 4 ayat (2) disebutkan bahwa  selain memiliki fungsi ekonomi, penyiaran juga memiliki fungsi budaya. Pada pasal 5 poin i  disebutkan bahwa penyiaran salah satunya diarahkan untuk memajukan kebudayaan nasional. Sedangkan seni-budaya Bali merupakan bagian dari kebudayaan nasional, sehingga sudah sewajarnya lembaga penyiaran di Bali memiliki kewajiban untuk turut serta melestarikan dan melindungi kebudayaan Bali. 

MenurutI Nengah Muliarta Komisioner Bidang Kelembagaan KPID Bali di Denpasar mengatakan, Kebijakan pelestarian dan perlindungan kebudayaan melalui penyiaran juga dituangkan dalam Pedoman Prilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Dalam P3 pasal 4 poin c disebutkan bahwa pedoman prilaku penyiaran member arah dan tujuan agar lembaga penyiaran menghormati dan menjunjung tinggi norma dan nilai agama dan budaya bangsa yang multikultur. Penegasan yang sama juga tertuang dalam SPS pasal 4 poin c. Dalam P3 terutama pasal 6,7 dan 8 juga memuat kewajiban bagi lembaga penyiaran untuk menghormati keberagaman budaya dan tidak mempertentangkan keberagaman budaya yang ada. 

Konsep stasiun siaran jaringan (SSJ) seperti yang tertuang dalam  Keputusan Menteri no. 43 tahun 2009 tentang SSJ, juga memberi ruang bagi upaya pelestarian kebudayaan daerah. Sesuai konsep SSJ terdapat kewajiban bagi lembaga penyiaran untuk memuat siaran muatan lokal mulai dari 10 persen hingga 50 persen. Tentuanya salah satu poin dalam program siaran muatan local adalah siaran kebudayaan. Dengan terangkatnya budaya daerah dalam ruang siar maka masyarakat dapat lebih memahami dan mencintai budaya yang dimiliki. Nilai-nilai budaya tentunya lebih mudah dipahami oleh generasi muda karena disampaikan secara menghibur oleh lembaga penyiaran. Seni budaya daerah tentunya akan mendapat tempat dihati masyarakat karena dikemas secara lebih modern dalam tayangan layar kaca dan ruang dengar. 

Upaya melestarikan kebudayaan Bali menjadi semakin realistis dan mudah karena seiring dengan perkembangan teknologi di industri penyiaran. Berbagai teknik pengemasan program siaran juga  semakin berkembang. Permasalahanya kemudian, mengapa upaya untuk menampilkan seni-budaya Bali ke dalam layar kaca terkesan monoton? Bahkan tidak ubahnya hanya memindahkan pagelaran panggung kedalam layar kaca. Belum lagi cukup banyak siaran kebudayaan yang kemudian tidak sesuai dengan kaidah P3 dan SPS. Sehingga terkesan bahwa seni-budaya tersebut tidak layak untuk ditampilkan dalam layar kaca dan ruang dengar. Jika kemudian seni-budaya tersebut tidak dapat dihadirkan dalam ruang dengar dan layar kaca, bagaimana cara untuk melestarikan? Tentu menjadi tanggungjawab kita bersama sebagai masyarakat penyiaran untuk mencari solusi bersama?

Contoh tradisi omed-omedan yang rutin digelar tiap tahun sehari setelah pelaksanaan Nyepi oleh kelompok warga banjar Kaja, Desa Adat  Sesetan, Denpasar Selatan. Tradisi turun temurun yang memiliki pengertian berangkulan tersebut selalu menjadi agenda liputan media yang menarik, termasuk oleh lembaga penyiaran. Lembaga penyiaran terutama televisi tentu sangat tertarik karena merupakan kegiatan masal dan melibatkan banyak orang. Tentu tradisi Omed-Omedan menjadi liputan yang unik. Namun lembaga penyiaran sering salah memberitakan dengan menyatakan tradisi ciuman masal. Akibat terjebak dengan persepsi tradisi ciuman masal antar muda-mudi maka pengambilan gambar juga lebih fokus pada adegan ciuman. Kameramen atau kontributor stasiun TV tentu akan berusaha mengabadikan gambar ciuman antar muda-mudi sebanyak-banyaknya, terutama saat para peserta yang berpelukan disiram dengan air.  

Tarian Joged yang merupakan tarian pergaulan di kalangan muda-mudi Bali mungkin menjadi salah satu tarian yang cukup jarang ditampilkan di layar kaca. Mungkin kesan porno membuat tarian tersebut jarang mendapatkan kesempatan tampil di layar kaca. Nyatanya tarian joged bukanlah tarian porno, tetapi lebih pada ekspresi pergaulan di kalangan muda-mudi Bali. Permasalahanya tentu bukan pada tarian atau gerakan tari yang harus diubah agar dapat ditayangkan di layar kaca. Permasalahnya adalah teknik pengambilan gambar ketika tarian tersebut dipentaskan. Kondisi yang sering terjadi yaitu akibat kesan porno, kameramen fokus mengambil gambar pada gerakan tubuh penari yang mengesankan porno. Gerakan tersebut seperti goyangan pinggung, pantat dan gerakan badan. Padahal kesan porno dapat dihindari dengan mengambil sudut pandang pengambilan gambar yang memenuhi unsur etika penyiaran. 

Masalah siaran lainnya yang cukup mendapat perhatian masyarakat adalah kata-kata yang mengandung unsur porno pada lagu pop Bali. Memang harus diakui dalam lagu pop Bali, salah satunya sering menggunakan kata-kata bermakna ganda (ngempelin). Dimana beberapa kata ada yang mengandung arti porno. Mengatasi masalah ini tentu memerlukan pengertian bersama. Jika tetap dipaksakan mengandung kata-kata bermakna porno maka akan bertentangan dengan aturan dalam Undang-Undang penyiaran, P3 dan SPS. Lagu dengan kata-kata porno tersebut juga tidak dapat disiarkan di lembaga penyiaran.  Tentu sangat disayangkan jika lagu pop Bali tidak dapat disiarkan di lembaga penyiaran. Apalagi selama ini penyiaran lagu pop Bali di lembaga penyiaran merupakan ajang promosi untuk mendongkrak penjualan CD. 

Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait