Baru 75 Persen Spa di Bali Yang Tersertifikasi Kompetensi

Baru 75 Persen Spa di Bali Yang Tersertifikasi Kompetensi
Bali Spa and Wellness Association (BSWA), berupaya agar semua SPA dan wellness yang ada di Bali bisa masuk menjadi membernya. Selain itu, BSWA juga berharap agar seluruh usaha serta therapis SPA bisa tersertifikasi kompetensi sehingga mampu bersaing dalam era masyarakat ekonomi ASEAN (MEA).
 

Alexandra Sutopo selaku Ketua BSWA, mengatakan dari potensi 1.100 usaha SPA dan wellness di Bali. Hanya 175 usaha SPA yang tergabung menjadi member BSWA. “Di dalamnya ada seperti vendor SPA, yang memproduksi produk SPA, furniture SPA, konsultan SPA dan lainnya. Kami sih berharap sisanya bisa segera menjadi member,” katanya dalam acara Ulang Tahun BSWA yang ke-12 di The Stone, Badung, Jumat (29/4). Kemudian dari 175 member ini, baru 75 persennya saja yang telah melakukan uji kompetensi alias tersertifikasi.

 

“Memang selama ini pemerintah telah membantu, tetapi masih terbatas. Kesadaran owner untuk mensertifikasi therapisnya juga masih minim. Padahal ini dibutuhkan untuk menghadapi MEA,” katanya wanita yang kerap disapa Lala ini. Ia mengatakan, keterbatasan dana ini membuat sertifikasi berjalan parsial dan seadanya saja. Sehingga ia menargetkan bisa menggandeng dinas pariwisata kabupaten/kota untuk membantu SPA yang belum tersentuh uji kompetensi, khususnya industri SPA di luar Badung dan Denpasar.

 

“Tidak mungkin juga kalau therapisnya yang melakukan itu sendiri, dengan gaji UMK tidak sebanding dengan biaya sertifikasi yang dirasa cukup mahal yakni sekitar Rp 700 ribu,” katanya. Kendala terbatasnya dana ini menurunkan kuantitas therapis yang disertifikasi. Untuk itu, selain dana pemerintah, BSWA mengharapkan owner dari industri bisa berkontribusi untuk uji kompetensi ini. BSWA melakukan reminder mengenai hal ini kepada seluruh usaha SPA dan wellness di Bali, baik melalui email maupun sosialisasi langsung akan pentingnya uji kompetensi.

 

Sementara itu, mengenai masih minimnya anggota BSWA dari potensi SPA dan wellness di Bali juga diakui BSWA. “Mereka tidak masuk ke BSWA, mungkin karena mereka belum mengenal BSWA dan tidak mengerti adanya asosiasi yang bisa membantu mereka. Makanya kita mau melakukan pendekatan lewat dinas supaya sekalian terpadu. Jadi pada saatnya nanti, saat melakukan kunjungan atau pemeriksaan bisa bekerjasama seluruhnya,” katanya. Dua dinas yang diharapkan ikut memantau dan mengimbau usaha SPA adalah dinas kesehatan dan dinas pariwisata.

 

Lanjutnya, usaha SPA dan wellness yang bergabung dengan BSWA akan mendapatkan benefit seperti edukasi menjadi sebuah SPA yang profesional dan legal. “Keuntungan ikut BSWA, mereka bisa lebih diarahkan dan mendapatkan bimbingan update banyak hal. Misalkan ada surat turun dari dinas mengenai TDUP, kemudian syarat TDUP bahwa therapisnya harus masuk standar kompetensi dan sebagainya kan harus diketahui semua usaha SPA,” katanya. Selain itu, BSWA juga bisa memonitoring SPA bodong dan nakal yang beroperasi di luar kewajaran.

 

“Harapan kami, BSWA bisa memberikan surat rekomendasi kepada SPA. Jadi sebelum mereka mendapatkan TDUP misalnya, mereka harus mendapatkan surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh asosiasi,” katanya. Hal senada juga diungkapkan Ketua PHRI Bali, Tjokorda Artha Ardana Sukawati atau yang kerap disapa Cok Ace. “Kami mohonkan pemerintah dalam hal ini yang akan mengeluarkan ijin. Hendaklah melibatkan BSWA dalam penerbitan ijin, karena bukan semata-mata untuk pembinaan tetapi juga menghitung suplay dan demmand. Karena hal negatif akan terjadi, manakala suplay besar tetapi tidak balance dengan demmand, nanti macam upaya dipakai oleh anggota apalagi non anggota untuk mencari keuntungan,” katanya.

 

Ia menduga penyebab banyaknya industri SPA dan wellness yang belum bergabung dengan asosiasi karena belum jalannya law enforcement khususnya yang diatur oleh peraturan daerah (perda). Sehingga masih banyak usaha dan industri SPA atau wellness yang berjalan tanpa koridor regulasi, sehingga dirasa asosiasi tidak berperan penting dalam penertiban  usaha ilegal ini. “Ini juga membuat asosiasi dan pemerintah sulit mencari data valid berapa potensi SPA dan wellness di bali,” katanya.

 

Kemudian, Cok Ace menekankan dalam menyambut masyarakat ekonomi ASEAN (MEA), standar kompetensi usaha SPA dan wellness harus dipastikan dengan baik. “Memang ada beberapa persoalan, khususnya karena SPA dan wellnes sebagai satu diantara unit usaha di bidang pariwisata yang sudah diatur oleh peraturan menteri. Kami melihat ada hal yang belum berjalan dengan baik yakni kompetensi dari para therapis ini. Padahal aturannya sudah ada, kemudian LSU dan asessor sudah ada, tetapi kesadaran dari anggota untuk diaudit kompetensinya ini yang belum, sehingga berimplikasi dalam hal perijinan seperti TDUP,” katanya. Baginya hal ini adalah persoalan besar dan diharapkan pemerintah bisa membuatkan anggaran untuk sertifikasi standar kompetensi ini.

 

Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata Badung, Cokorda Raka Darmawan, mengatakan perijinan merupakan tupoksi badan pelayanan perijinan. “Kami berharap dengan adanya BSWA ini, sebagai patner kerja kami untuk melakukan pembinaan dan pengawasan dalam operasional SPA yang berada di kabupaten tentu banyak hal yang bisa didapat untuk melakukan koordinasi khususnya berkenaan dengan perjinnan,” katanya. Intinya, operasional SPA dan wellness harus memiliki TDUP, kemudian bagi tenaga kerja wajib memiliki sertifkasi kompetensi dan wajib dilakukan oleh semua pengusaha di industri pariwisata. “Nah untuk mengarah ke sana, diperlukan pendataan secara akurat sehingga kami di Badung bisa membuat program kepada usaha akomodasi melalui APBD kami membantu tenaga kerja untuk mendapatkan sertifikasi kompetensi,” katanya.

 

Terkait dengan TDUP, kata dia, belum ada regulasi yang mengharuskan keikutsertaan BSWA dalam rekomendasi kepada pemerintah. “Tetapi kami dari pemerintah tentu membutuhkan informasi tentang keberadaan anggota berkaitan dengan memperpanjang ijin. Karena setiap 5 tahun sekali usaha pariwisata khususnya SPA dan wellness wajib memperpanjang TDUPnya. Nah ketika memperpanjang inilah kita memerlukan tambahan informasi dari asosiasi, mungkin informasi dari sisi operasionalnya melenceng atau tidak ini yang perlu dikomunikasikan, namun sifatnya non formal,” katanya.

Ditayangkan sebelumnya dari situs Redaksi
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait