4 Kata Untuk Pedomi Perjalanan Hidup

4 Kata Untuk Pedomi Perjalanan Hidup

Berbagai dinamika yang dialami dalam menjalani hidup sebagai seorang manusia baik itu kebahagiaan, kesedihan, kesuksesan, kegagalan, atau permasalahan hidup lainnya, harus dimaknai secara dalam agar bisa mempersiapkan diri lebih baik dikemudian hari. Di dalam mempelajari dan  memahami kehidupan, ada  4 kata sederhana yang bisa dijadikan pijakan untuk mendiskripsikan sikap kita dalam menghadapi permasalahan tersebut. Empat kata yang seringkali dianggap remeh namun memiliki makna sangat dalam jika diterapkan dengan tulus, yakni kata ‘cukup’, ‘sabar’, ‘maaf’ dan ‘terimakasih’. Demikian disampaikan Gubernur Bali Made Mangku Pastika saat menghadiri Dharma Santhi Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1938 di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya, Denpasar.

 “Dalam menjalani hidup, ada hal yang perlu kita renungkan untuk diterapkan. Setelah mencermati, mempelajari, memahami, dan mengalami hidup dari tahun ke tahun, ada 4 kata ajaib menurut saya yang bisa dijadikan pedoman dalam menjalani hidup, yakni yang pertama kata ‘cukup’ untuk mengurangi nafsu serakah kita, yang kedua kata ‘sabar’ untuk memulai, menghilangkan dan mengendalikan sifat pemarah dalam diri, yang ketiga kata ‘maaf’ untuk menghapuskan dendam yang berkecambuk, serta kata yang terakhir kata ‘terimakasih’ untuk menyatakan rasa syukur kita, rasa angayubagia kita atas apa yang diberikan sesama mahkluk hidup didunia kepada kita untuk kelangsungan hidup bersama, dan karunia TYME,” cetus Pastika.
 
Lebih jauh, Gubernur Pastika yang kala itu didampingi Ny. Ayu Pastika mengemukakan tujuan Hari Raya Nyepi adalah untuk membersihkan diri (bhuwana alit) dengan melaksanakan Catur Bratha Penyepian (Amati Geni, Amati Karya, Amati Lelungaan, Amati Lelanguan), seharusnya dimaknai untuk mengendalikan nafsu, serta memanfaatkan waktu yang ada untuk merenungkan segala perbuatan yang sudah dan yang akan dilakukan melalui tapa, brata, yoga, semadi, agar bisa menghadapi tantangan hidup dengan lebih baik kedepannya.  “Nyepi yang bertujuan untuk membersihkan diri kita, dengan melaksanakan Catur Brata Penyepian yakni tidak menyalakan api, tidak bepergian, tidak bekerja, dan tidak makan, yang lebih jauh bermakna untuk mengendalikan nafsu kita yang ibarat api, kita tidak mengumbar nafsu kita untuk mendengarkan atau menikmati hiburan-hiburan, maka dengan keheningan itu kita mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan kedepan yang kita harapkan lebih baik dari kehidupan sebelumnya. Kita diberikan waktu 24 jam untuk merenung, menenangkan diri, dan menghitung apa saja yang sudah Kita lakukan, yang baik, yang buruk, dan yang akan kita lakukan ditahun-tahun berikutnya,” imbuh Pastika. Tak hanya itu, tak hanya  pembersihan diri (bhuwana alit) , Nyepi yang juga bertujuan membersihkan alam semesta  (bhuwana Agung), diharapkan bisa menjadi momen untuk mempertebal rasa toleransi demi kerukunan dan keharmonisan dikalangan umat, dan antar umat yang berada di Bali saat pelaksanaan Hari Raya Nyepi. “Saya berharap bagi seluruh umat Hindu, dan juga umat lain yang berada di Bali saat itu, agar melaksanakan dan memanfaatkan sebaik-baiknya hari yang baik itu, demi kerukunan dan keharmonisan kita semua, yang juga untuk menyelamatkan alam semesta,” pungkas Pastika.
 
Sementara itu, Ketua PHDI Provinsi Bali, Prof. Sudiana, menyatakan Nyepi sebagai keadaan diam atau kosong yang menciptakan keheningan, situasi hening itulah yang menumbuhkan rasa kerinduan pada Tuhan, yang sepatutnya dimanfaatkan untuk merenungkan diri. Dengan merenung akan tumbuh kesadaran untuk mengevaluasi diri, agar bisa menatap masa depan dan berbuat lebih baik kedepannya. Lebih jauh, Ia menjelaskan pelaksanaan Nyepi sudah saat ini sudah lebih baik dari pelaksanaan sebelumnya, seperti tidak adanya kemacetan saat pelaksanaan Melasti, maupun kejadian negatif saat Nyepi yang mengganggu kekhusukan pelaksanaan Nyepi. Walaupun terjadi sedikit insiden kecil, menurutnya harus dijadikan pelajaran dan diselesaikan dengan perasaan menyama berada. Kedepannya Ia berharap pelaksanaan Nyepi yang khusuk benar-benar tumbuh dari kesadaran tiap umat. Pada kesempatan itu, Ia juga menyampaikan ucapan terimakasihnya atas dibangunnya SMA dan SMK Bali Mandara, serta lulusnya para Penyuluh Agama Hindu sebanyak 716 orang, yang dinilai akan semakin menguatkan akar budaya Bali
 
Dharma Wacana oleh Ida Pedanda Gede Putra Kekeran dari Gria Gde Denkayu, Mengwi. Ida Pedanda dalam Dharma Wacananya memaparkan beberapa hal sebagai inti dari agama Hindu, diantaranya tentang Dharma yang dalam ajaran Hindu merupakan tuntunan untuk mencapai kerahayuan baik sekala maupun niskala. Dharma menurutnya memiliki fungsi sebagai tuntunan untuk mengarahkan perjalanan manusia kearah kebenaran dan fungsi sebagai kriteria untuk mengukur kemajuan kita. Hal lain yang disampaikan yakni tentang budaya yang juga menjadi tema acara, menurutnya budaya sebagai hail kreasi pikiran bisa berubah, tetapi ada inti yang tidak boleh dirubah sebagai poros, agar umat tidak latah merubah budaya sekedarnya.” Kita tidak boleh terkejut pada pesatnya perkembangan informasi, saat kita berkutat pada budaya-budaya yang sudah usang. Tetapi kita juga perlu khawatir terhadap generasi yang menawarkan perubahan total, karena disanalah perlu keseimbangan bagi setiap orang dalam memaknai budaya,” paparnya. Ida Pedanda juga menekankan  konsep yadnya sebagai prinsip ideologi agama yang tidak bisa ditawar, karena konsep yadnya harus benar-benar ikhlas berkorban. 


Ditayangkan sebelumnya dari situs Redaksi
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait