CPO Salah Satu Sektor Kompetitif Untuk Pengentasan Kemiskinan

CPO Salah Satu Sektor Kompetitif Untuk Pengentasan Kemiskinan

Indonesia sebagai produsen CPO terbesar harus memiliki pandangan ke depan dan mampu mengantisipasi tantangan dan peluang di masa depan. Indonesia harus memiliki pemikiran maju, bisa mengidentifikasi cara baru atau unik untuk memecahkan tantangan.

Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menegaskan hal itu dalam sambutan pembukaan Konferensi Sawit dan Lingkungan (ICOPE) ke-5 di Nusa Dua, Bali, Rabu (16/3).
 
Conference on Parties (COP) 21 Paris telah sepakat membatasi peningkatan temperatur global di bawah ambang 2 derajat Celsius, bahkan ada yang mendesak untuk membatasi kenaikan hingga 1,5 derajat Celcius.  Karena itu penting menegaskan kembali kewajiban yang mengikat negara-negara maju di bawah UNFCCC untuk mendukung upaya negara-negara berkembang.
 
“Saya ingin menegaskan negara-negara maju juga harus membantu negara-negara berkembang untuk mendukung upaya ini,” tegas Darmin.
 
Harga Premium untuk Produk Berkelanjutan
 
Menurut Darmin, negara-negara maju harus mengakui bahwa dalam jangka panjang, negara dengan produk yang kompetitif lebih mungkin untuk berhasil, lebih mungkin bisa memberantas kemiskinan, lebih mungkin dapat menempatkan sumber daya tambahan untuk melindungi rakyatnya, lingkungan dan kepentingan ekonomi - dibandingkan dengan negara-negara tanpa produk kompetitif. Karena itu, setiap negara harus mencoba untuk mencari tahu produk yang kompetitif dan terus mengembangkannya.
 
Darmin menegaskan, negara-negara maju juga harus mencoba untuk menyediakan dana ketimbang hanya bicara. “Sebagai seorang ekonom, saya menggunakan istilah 'kesediaan untuk membayar’".
 
Karena itu, kata Darmin, kita harus mengubah pola pikir bahwa menjadi berkelanjutan bukan hanya tanggung jawab produsen, tetapi juga menjadi tanggung jawab konsumen. “Kami berharap mitra kami untuk bekerja sama tidak hanya untuk mendorong praktik lingkungan di negara produsen tetapi lebih penting juga membantu membiayai praktik sustainablity dengan membayar secara premium produk yang berkelanjutan. Boikot produk seperti yang terjadi dalam kasus Iran, Korea Utara tidak akan menjadi win-win solution. Saya percaya pada dialog,” tegasnya.
 
Melawan segala rintangan, Indonesia telah berhasil meluncurkan inisiatif Biodiesel B-20 pada 2015. Inisiatif ini merupakan dorongan utama untuk energi campuran kita, karena sebelumnya Indonesia sangat tergantung pada bahan bakar fosil. Sebagai negara pengimpor, Indonesia membutuhkan sumber energi yang lebih berkelanjutan. Adanya permintaan tambahan untuk CPO telah mampu mendongkrak harga CPO - naik tipis menjadi USD 565 / ton dari USD 535 / ton ketika kita mulai mengumpulkan retribusi untuk program  biodiesel.
 
Melindungi Petani
 
Ini menunjukkan Kebijakan Biodiesel tidak hanya menciptakan permintaan tambahan untuk CPO, tetapi juga melindungi petani kecil dari potensi krisis karena penurunan harga tandan buah segar.
 
CPO merupakan salah satu sektor yang kompetitif dan itu adalah alat yang efektif untuk pengentasan kemiskinan. Satu hektar perkebunan CPO, misalnya, dapat menghasilkan rata-rata 3,8 ton minyak. Pada harga saat ini, itu kira-kira dapat menghasilkan USD 2.150 per hektar. Bandingkan dengan perkebunan karet dengan tingkat produktivitas 1 ton per hektar yang  hanya menghasilkan USD 1.500 per ton.
 
Perkebunan sawit rata-rata membutuhkan 0,12 pekerja per hektar. Ini memainkan peran sangat besar untuk pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja untuk Indonesia. Perkebunan sawit mampu menyerap lebih dari 4 juta tenaga kerja langsung dan lebih dari 10 juta tenaga kerja tidak langsung serta berkontribusi besar terhadap ekspor non-migas Indonesia.
 
Praktek Sustainable Palm Oil juga memainkan peran penting untuk mengurangi emisi karbon hingga 29% pada 2030 dan 41% dengan dukungan internasional. Pemerintah berencana untuk fokus pada penanaman kembali CPO di lahan kritis dan daerah produktivitas rendah untuk meningkatkan hasil.
 
“Dengan mempromosikan Wajib Biodiesel (B20) pada 2016, yang secara bertahap akan meningkat menjadi 30% pada 2025, kami yakin kebijakan ini akan mempromosikan penggunaan energi yang lebih berkelanjutan. Kami sedang dalam proses non-mandatory (Non-PSO) untuk melakukan 20% pencampuran yang akan meningkatkan permintaan tambahan untuk CPO. Kami memperkenalkan kebijakan ini selama lingkungan bahan bakar fosil menurun sehingga beban bagi konsumen akan relatif minimal. Untuk menambal perbedaan harga, kami berpikir untuk mengambilnya dari marjin produsen minyak, bukan membebankannya kepada konsumen,” kata Darmin.
 
Pada tahun 2015, perkebunan CPO Indonesia sudah mencapai 11 juta hektar, dengan total produksi mencapai 32 juta ton. 45% dari lahan ini milik petani, sisanya dikuasai oleh korporasi dan BUMN.
 
Perkebunan Swasta dan BUMN memainkan peran penting bagi petani kecil. Perusahaan besar memiliki akses ke pasar dan kemampuan untuk bernegosiasi di pasar internasional. Dengan demikian perkebunan swasta dan BUMN tidak bisa menutup mata terhadap petani kecil.
 
Menurut Darmin, perusahaan yang lebih kuat harus bisa mencari solusi jangka panjang untuk meningkatkan praktek keberlanjutan petani, bekerja sama dengan pemerintah untuk mempromosikan praktek perkebunan yang baik dan berkelanjutan.
 
“Karena itu kami ingin memprioritaskan pada masalah pada pencegahan bencana untuk tahun ini. Banyak fokus dan bantuan yang ditawarkan pada isu-isu yang berdampak jangka menengah dan panjang - namun dalam jangka pendek kita perlu memprioritaskan pencegahan segera untuk mencegah berulangnya kebakaran hutan,” tegas Darmin.


Ditayangkan sebelumnya dari situs Redaksi
Tuangkan Komentar Anda
Gunakan kode HTML berikut untuk format text: <a><br><strong><b><em><i><blockquote><code><ul><ol><li><del>
CAPTCHA Image
Reload Image
Berita Terkait